Minggu, 19 Juni 2011

Menggagas Perlawanan Terhadap Sisa Pengetahuan Kolonial

Berjalannya gerak sejarah negara Indonesia tak pernah lepas dari perhatian komunitas dunia, utamanya negara-negara inti yang masih memegang kendali percaturan ekonomi-politik dunia. Perputaran sejarah kepemimpinan negara ini selalu diguncang badai kepentingan asing, bilamana tak mau turut dengan ultimatumnya. Dari sejarah berdirinya Indonesia, kita tidak pernah menjadi bangsa yang mandiri (secara utuh) dari segala sisi, dari sosial, politik, ekonomi, sampai pada masalah budaya.
Hingar-bingar keindahan dan kemajuan Indonesia yang nampak di depan mata kita, hanya mengaburkan permasalahan pelik yang sebenarnya. Pembesarnya masih malu-malu mengatakan bangsa ini sebagai bangsa yang miskin, misalnya ketika terjadi tsunami di aceh tahun 2004, mestinya kita sudah mendapatkan pengampunan utang dari lembaga donor, karena masih melekatnya mental gengsi, hal itu tak terjadi. Kita mengklaim sebagai bangsa yang punya kehormatan dimata dunia, sekaligus senantiasa menjilat kepada bangsa lain mengangkat tangan mengharap bantuan : Rp 1.600 triliun  utang bangsa indonesia belum terbayar!
Teriakan keringanan utang semestinya dari dulu sudah diperbincangkan para elite penguasa dan jajarannya, terutama para ekonom-ekonom yang selalu menjadi penasehat kebijakan ekonomi. Pengakuan bank dunia beberapa tahun lalu tentang maraknya tindak korupsi, bisa menjadi senjata ampuh pengurangan utang 30% indonesia. Yang mengganjal di pikiran kemudian, mampukah para mefia berkeley[1] membincangkan hal itu di forum dunia? Karena saat ini jabatan penting ekonomi indonesia masih di duduki grup (berkeley’s) ini. 

Ke(tidak)merdekaan Indonesia
Dari masa pra kemerdekaan sampai pasca kemerdekaan, kita masih dikendalikan oleh strukur dunia yang masih mengatur jalannya perebutan medan ekonomi-politik. Kedatangan bangsa belanda dan mendirikan VOC (1602) diharapkan mendatangkan berkah dengan proyek ’pendewasaannya’[2], justru menjadi lintah penghisap dengan menerapkan politik kolonialnya di Indonesia. Dengan penerapan teori asosiasi Dr. Snouck Hurgronje seorang antropolog era kolonialisme belanda, penjajahan yang dilakukan selama 350 tahun oleh belanda tak tergoyahkan sama sekali, meskipun terjadi perlawanan di tiap daerah buktinya selalu gagal karena tidak ada konsolidasi nasional, baik segi ekonomi maupun politik. Para bangsawan yang menjadi panutan masyarakat justru menghamba kepada kolonial. Utamanya raja-raja dijawa, karena takut dilibas oleh belanda daerahnya pun dijadikan basis eksploitasi gubernur jendral yang berkuasa di Batavia (sekarang jakarta).

Kepergian belanda sebagai penjajah kemudian menyisakan banyak buangan kolonialisme, baik secara materil berupa bangunan, mentalitas, ataupun nalar cara berpikir. Sejak belanda sampai di indonesia, ia kemudian memandang masyarakat indonesia tidak memiliki identitas, kalaupun ada, ia hanya didefenisikan. Mereka (belanda) menganggap memasuki ruang yang kosong. Karena indonesia dianggap kosong, maka penting untuk diisi, lewat pendewasaan. Rujukan mereka dalam melakukan praktek pendewasaan, tidak lepas lewat jejaring pengetahuan yang dibentuk atau dirancang, misalnya lewat sekolah atau media.ingat, tidak ada sesuatu yang bebas nilai, begitu juga kebijakan-kebijakan kolonial, kepala pribumi diisi dengan sesuatu yang berbau budaya eropa. jelas, mainnya lewat hegemoni, para pribumi secara tidak sadar terkungkung dengan pengetahuannya sendiri.
Di sinilah letak superioritas eropa, yang menganggap peradaban dan kebudayaannya yang tertinggi, dan memandang timur tidak punya kebudayaan. Maka dari itu,   eropa kemudian menganggap dirinya memiliki tanggung jawab membantu timur beranjak dari ’kebodohan’ menuju ’kedewasaan’.   
tulisan  ini kemudian mencoba merefleksi buangan pengetahuan  para kolonialis. berikut penjelasannya.....
me-matematika-kan nalar eropa
Penting sebelumnya mendudukkan cara berpikir eropa (termasuk belanda) dalam melihat fakta sosial. Mengkaji itu, sebenarnya butuh perdebatan panjang dan tidak mudah, minimal kita bisa diskusikan nalar eropa yang kemudian sampai di nusantara sebagai negara terjajah.
Berkuasanya para kaum kolonialis di mulai dari selat malaka, pelan-pelan kemudian merembes menguasai seluruh wilayah indonesia, belanda datang menggantikan portugis ternyata penjajahannya menjadi-jadi. Meskipun terjadi pemberontakan di berbagai daerah, namun Belanda tetap tak tergoyangkan.
Di era penjajahan banyak terjadi patologi sosial, belanda mengkotak-kotakkan penduduk sesuai dengan rasnya. Yaitu :
1.  Barat asing   = bangsa berkulit putih (eropa). Kelas ini menganggap dirinya sebagai yang paling di atas dan terhormat.
2.  Pribumi       = kelas ini adalah yang paling rendah, posisinya sama seperti bilangn U (bilangn U akan di eksplor di bagian bawah)   
3.  Timur asing = kelas ini tergolong bangsa dari asia yang masuk ke Indonesia. Antara lain cina, arab, persia, india. Posisi kelas ini menurut hirarkis, menjadi perantara antara pribumi dan bangsa eropa.
Pembentukan struktur kelas oleh belanda memperlihatkan ke-egoisan belanda sebagai penjajah, posisi belanda sebagai yang dimuliakan sebagai bangsa kulit putih, mengaharuskan ia harus benar steril dari bangsa yang lain. Ia menjadi jijik melihat apalagi menyentuh kaum pribumi. Artinya, eropa mengedintifikasi dirinya sebagai ’yang lain’ dari luar eropa. Dalam klasifikasi kelas sosial, ia mengkotak-kotakkannya, kotak paling istimewa adalah kotak eropa, sedangkan kotak luar eropa tidak bisa didefenisiskan ataupun absatrak serta tak berbudaya.
Barat yang memposisikan dirinya sebagai yang lain (superior), membuat pribumi tersisih dan mengedintifikasi dirinya sebagai ’yang lain’ (inferior). Karena eropa sebagai superior, maka ia harus menjadi cermin kebudayaan bagi yang di luar dirinya.
Sekarang kita coba gunakan teori aljabar dalam menjelaslan nalar eropa, setelahnya coba kita hubungkan feduanya… 

Contoh : 2x + 3 = 10

Saya yakin pembaca pasti sudah mengerti dan bisa dengan cepat menyelesaikan soal di atas, yang ingin dicari adalah nilai ‘x’. Tapi tujuan saya mengangkat soal aljabar di atas adalah untuk memahami cara kerja nalar eropa. Kemudian, menarik keluar prinsip-prinsip kerja penyelesaiannya. Terakhir kita coba hubungkan dengan metode berpikir eropa.

Penyelesaian :

2,3,10     Entitas terketahuai
0            Non entitas
x            Entitas belum terketahui

Prinsip dasar penyelesaian :
1.    Nilai x dicari karena belum terketahui nilainya.
2.    Proses penyelesaiannya harus dalam bentuk equasi (terdiri dari 2 ruas).
3.    Nilai x tidak bisa ditemukan jika bercampur dengan entitas terketahui.
4.    x harus steril dengan entitas terketahui agar dapat diketahui nilainya.
5.    cara mensterilkan x, dengan memindahkan entitas terketahui (2,3) di ruas 1 ke ruas 2, atau sebaliknya.  
6.    setelah x benar-benar steril, pencarian nilai x dapat terketahui.[3]

Sekarang, coba kita hubungkan prinsip ‘mencari nilai x’ dengan ‘nalar eropa mengedintifikasi  yang di luar eropa ’.......


No
Matematika
           Nalar eropa terhadap timur

1
Untuk mendapatkan entitas x, ia harus steril, tidak tergabung dengan entitas yang lain. Caranya menjadi steril, semua bilangan bernilai berada se-ruas (ruas 1) dengan x, harus pindah ke ruas sebelahnya (ruas 2)
Agar eropa menjadi superior, ia harus meragukan semua di luar eropa. Artinya tidak memandang diri sebagai bagian dari kelompok bersama kaum pribumi, tapi harus melihat diri (eropa) sebagai  yang terbebas dari diluar dirinya, ia harus benar steril dari identifikasi di luarnya.


2
X tidak akan bisa didapatkan jika menggunakan 1 ruas saja, ia harus menggunakan 2 ruas. Kalaupun didapatkan ada soal Cuma 1 ruas, cara penyelesaiannya pun harus di dua ruaskan.

Misal, 4x – 8

Penyelesaian : 4x – 8 = 0
                           4x = 8
                             x = 8/4
                             x = 2
inilah yang dikatakan equasi
Eropa takkan mungkin bisa superior kalau ia masih bergabung bersama kaum pribumi. Cara eropa menjadi steril, nalar yang dipakai sama dengan nalar matematika, yaitu nalar equasi. Caranya steril adalah mendikotomikan antara eropa ddengan pribumi. Baik eropa maupun pribumi sama didefenisikan oleh eropa sendiri.

3
Setelah  benar-benar steril, niai x pun terketahui
Setelah eropa/pribumi steril, ia pun sudah dapat  didefinisikan. Eropa yang steril menjadi superior, dan Pribumi yang di luar steril dianggap kolot, bodoh, dan tak punya budaya.

Pengguanaan matematika sebenarnya saya gunakan untuk memudahkan kita mengetahui cara pengidentifikasian eropa terhadap timur umumnya. Pengidentikasian eropa bentuknya susah untuk di deteksi, karena mainnya lewat jejaring pengetahuan. Halusnya  gerakan mereka membuat kita terlena dan lupa bahwa semuanya adalah lanjutan dari imprealisme!
Universalitas eropa sebagai kebenaran
Hari ini, bangsa Eropa (di)tampil(kan) sebagai cerminan dari timur. Baik itu, system politik, ekonomi, budaya, dan hampir semuanya, harus merujuk pada bangsa eropa. Relasi barat-timur ada pada kategorisasi yang dirancang sendiri oleh eropa. kita sebagai orang Indonesiapun tanpa sadar mencoba merujukn kepadanya.
Saya akan membuatkan contoh untuk memudahkan…
Yang coba kita bedah adalah konsep kecantikan. Pernakah anda berpikir kenapa semua perempuan mencoba menyamakan dirinya dengan barat. Laki-lakipun begitu, perempuan ideal dikepalanya adalah perempuan bangsa eropa. Kenapa bisa begitu? (perhatikan prinsip matematika aljabar)
Eropa mengedintifikasi dirinya sebagai yang ideal, konsep wanita ideal harus begitu juga. Cara kerjanya dengan membuat kategorisasi.
Konsep wanita ideal:
1.    putih
2.    hidung mancung
3.    bibir tipis
4.    tinggi
5.    berambut tipis dan tidak kribo
6.    bertubuh langsing
7.    agar lebih cantik rambut harus berwarna

Perhatikan kategorinya, siapa yang diuntungkan sub-kategori di atas?  Orang Indonesia tidak mungkin masuk dalam kategorinya, karena ciri-ciri perempuan Indonesia itu berhidung pesek, pendek, berkulit coklat (bahkan ada yang hitam). Untuk menjadikan kategori di atas menjadi benar, perlu kategori kebalikannya sebagai yang tidak cantik atau tidak sempurna. Dan kategori itu tidak berada di eropa, ia harus senantiasa mengidentifikasi di luar eropa. Kalau tidak ada kategori ‘tidak cantik’, maka kategori ‘yang cantik’nya eropa menjadi tidak universal.

Keterangan :
* Dahulu, konsep kecantikan sangat berbeda dengan apa yang ada di kepala kita hari ini. Orang afrika dan arab, dulunya menilai wanita cantik bagi berbadan gemuk, jika ada wanita yang bertubuh langsing apalagi kurus, ia dianggap sebagai wanita kutukan, bahkan ada yang di penjara gara-gara bertubuh langsing. Hal tu membuktikan, perdebatan benar-tidak/cantik-jelek menjadi tidak penting lagi digunakan sebagai alat analisis.
** perhatikan kembali bentuk equasi matematika, nalar ini pun digunakan pada pencarian format ideal kecantikan.
Disinilah bentuk dogamtisme nalar eropa. Yaitu lewat kategorisasi-kategorisasi yang dirancang oleh eropa sendiri. Ini baru persoalan tentang kecantikan, belum persoalan lain. Setidaknya hal ini mudah-mudahan bentuk dogmatism eropa sebagai peradaban.

metode perlawanan
  1. Menggagas ‘bilangan U’.
Arti bilangan U sebenarnya tidak mengandung apa-apa. Huruf U saya ambil dari nama saya sendiri, yaitu Upie. Untuk mengetahuinya saya akan memaparkan rumusnya terlebih dahulu

Prinsip : Datang tidak menambah, Pulang tidak mengurangi.
Rangkaian rumus di atas, sangat berbeda dalaam rumus matematika normal. Setelah memperhatikan nalar dikotomi eropa, setidaknnya konsep bilangan U dapat memperlihatkan posisi luar eropa yang dianggap takkan mungkin bersatu dengan eropa sebagai yang superior.
Berikut penjelasannya…
Untuk mendapatkan nalar bilangan ini, penting untuk menghubungkan dengan bangunan pengetahuan eropa.
Mari kita hubungkan.,,
Sebagaian besar, bangsa Eropa tidak pernah mencoba menyatukan dirinya dengan timur. Ia akan selalu merasa sebagai konsep ideal yang harus ditiru oleh orang diluarnya. Tapi eropa ternyata mendua sebagai konsep ideal, karena seberusaha apapun kita mengikuti gaya eropa, tetap takkan pernah dianggap sempurna oleh orang eropa. Karena eropa selalu butuh pembenaran dari luar eropa untuk di patologi (di anggap kolot atau salah). Orang yang ada di timur sebagaimanapun usahanya menjadi orang ‘eropa’, hal itu akan sia-sia saja, ia takkan akan beranjak menjadi orang modern, karena mentalitasnya sebagai orang timur tetap tertanam. Manusia seperti ini berada pada posisi mengambang identitasnya, tidak lagi menjadi timur seutuhhnya, tapi tak pernah berhasil juga seutuhnya menjadi manusi modern (eropa).
Pengandaiannya seperti ini…..
Angka 1 pada rumus bilangn U, merupakan pengelompokkan suatu kaum atau ras sekalipun. Ditarik dalam nalar eropa, ia sebagai kelompok yang mengidentifikasi dirinya sebagai superior (bangsa eropa). Bilangan U adalah individu atau kelompok yang ada di luar eropa. Dalam hal ini, kita orang Indonesia yang berada di luar eropa.
Bagaimanapun usaha orang Indonesia menjadi se-eropa mungkin. Ia tetap tak akan diterima sebagai komunitas tetap orang eropa. Fisik kita tetap dianggap ada oleh mereka, tapi mengenai pengetahuan, identitas, cirri-ciri tentang kita, mereka menganggap dirinya punya kewajiban sekaligus hak menentukan. Pengetahuan yang coba kita gagaskan mengenai kita sendiri, sulit mereka menerima sebagai pengetahuan ilmiah. (perdebatan tentang ilmiah dan tidak ilmiah, tetap menggunakan nalar equasi)  
Artinya kita sebagai orang Indonesia secara fisik diakui ‘ada’, tapi kita dianggap tidak memiliki bahasa representasi atas diri sendiri, itulah yang disebut bilangan U. fisiknya ‘ada’, tapi kekuatan dan hak bicara ‘tidak ada’.
Tulisan ini tentu bukanlah sesuatu yang sempurna, sebagai sesuatu yang bergerak. Setidaknya bisa menjadi wacana refleksi atas mental inferioritas kita sebagai bangsa pasca jajahan.
  1. Gagasan praksis
Untuk melawan sisa pengetahuan colonial yang dianggap kurang relevan dengan Indonesia, yaitu membentuk sekolah-sekolah alternative. Sekolah alternative disini dilihat, dengan membangun kelompok-kelompok belajar dengan lebih mengutamakan pemuda. Pemuda dianggap sebagai investasi generasi kedepan bangsa. Sekolah formal hari ini, tidak bisa di jadikan andalan dalam membangun pemuda yang kritis. Bentuknya pun tidak mesti harus seperti sekolah formal, minimal sekolah ini intens melakukan pertemuan dan diskusi-siskusi mengenai realitas.
Materi yang diangkat dalam sekolah alternative, adalah sesuatu yang harus ngonteks dengan peserta didik. Misalnya pesertanya anak petani, berarti juga harus memberikan kajian yang lebih banyak mengarah dengan pertanian. Begitu juga dengan yang lainnya.
Setelah sekolah ini matang, kader-kadernya minimal berparadigma mengiring arus. Karena saat ini, paradigm ini saya anggap relevan dengan keadaan bangsa.
Sebuah penutup : Secuil puisi dari ‘yang bukan pujangga’
Nalar terbalik

kepalaku dirinci dogamtisme yang sama sekali tak menggoda....
ia terus bersemayam lama menggoyangkan isinya, selalu meroda...
coba kutumbukkan benda ini  di tepian tebing-tebing karang kebebasan...
darahnya mengucur deras, keluar bersama nanah-nanah hegemoni...
dan pantas .. hari itu aku teriakkan PEMBERONTAKAN !!!!......

1 komentar: